Denmas Priyadi
Blog ǀ Rabu, 17 April 2013 ǀ 07:26 WIB
Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu
Oleh Aminudin TH Siregar )*
KOMPAS.COM ǀ Senin,
7 Januari 2013 | 08:34 WIB - Cara kita mencipta, menulis,
membicarakan, dan memahami seni di abad ini telah banyak berubah. Perubahan
tersebut ditandai dengan pelbagai peristiwa di medan sosial seni global dengan
kemunculan karya-karya yang senantiasa menantang batas-batas kemapanan
paradigma seni sebelumnya.
Kenyataan
semacam ini juga terjadi di Indonesia. Apa yang dipahami oleh S Sudjojono pada
masa revolusi (”seni adalah jiwa kétok”) akan sangat berbeda dengan generasi
seniman muda masa kini (”seni adalah kerja yang menyenangkan”; ”seni adalah
main-main, asyik-asyik saja”). Sepintas rumusan seni Sudjojono—”seni adalah
jiwa kétok” tidak berbeda jauh dengan rumusan gerakan Pujangga Baru yang
mengatakan bahwa ”seni adalah gerakan sukma”. Rumusan ini dicetuskan sebagai
”manifesto” pada 1935. Oleh redaktur majalah Pujangga Baru, pada masa ini,
tarik-menarik antara ”seni untuk seni” dan ”seni sebagai alat” mulai
dibicarakan.
Jika
lingkup kajian ini kita perluas, ihwal seni ini di dalam sejarah seni rupa kita
mengerucut ke dua kubu yang saling berseberangan, mengemuka sebagai dua sistem
kepercayaan:
PERTAMA,
kubu yang percaya bahwa ”seni adalah untuk seni”. Segala yang diciptakan oleh
seniman tidak berurusan dengan kenyataan sosial. Sering dikatakan bahwa
”otonomi” adalah fenomena modern. Dan, dia adalah salah satu dari trinitas
dalam paham modern: ”otentisitas”, ”orisinalitas”, dan ”otonomi”. Karena seniman adalah makhluk otonom, ia bukanlah orang
yang bisa dideterminasi oleh apa dan siapa pun. Dari sisi estetika, wakil
paling populer dari kubu ini adalah lukisan-lukisan formalistik, semisal
abstrak dan ragam variasinya. Yang dinilai dari karya dalam kategori ini adalah
pada kualitas intrinsiknya—kualitas yang tidak berhubungan dengan dunia luar.
KEDUA
”seni untuk rakyat”. Karena seniman adalah anggota atau bagian dari masyarakat,
ia tidak bisa melepaskan diri dari masyarakatnya. Sebelum diformulasikan secara
praksis dan pragmatis oleh Lekra dengan mengadopsi paham Realisme Sosialis
internasional, sebenarnya Sudjojono telah mengawali konsepsi ini dengan kredo:
”kembali ke realisme”: sebuah lukisan harus dimengerti oleh masyarakat luas.
Dalam pandangan ini, baik makna maupun nilai seni hanya bisa dipahami dengan
cara menempatkannya ke dalam situasi sosial yang memproduksinya. Dalam kerangka
ini, tidak sedikit pengamat seni yang menilai bahwa karya seni merefleksikan
nilai (selera) kelas yang dominan dan seni digunakan sebagai alat perjuangan untuk
melawan dominasi tersebut. Apabila sistem nilai ”Formalisme” adalah intrinsik,
letak keberhasilan seni di paham kedua ini berada pada kualitas ekstrinsiknya.
Sejarawan Marxis Nicos Hadjinicolaou, misalnya, mengatakan, ”… mulai sekarang
pertanyaan idealis ’apa itu keindahan’ atau ’mengapa karya itu indah’ harus
diganti dengan pertanyaan materialis, ’oleh siapa, kapan, dan dalam kepentingan
apa sebuah karya itu disebut indah’.” Karena itu, mereka yang bekerja di
koridor ini lazim disebut ”pekerja seni” (art workers) ketimbang ”seniman”
(artists).
Ciri
dan gaya.
Setelah
seorang pelukis mencipta seni selama, katakanlah, lebih dari 40 tahun, tentu
saja kita bisa menilai apa dan bagaimana ciri dan gaya lukisannya, patungnya,
keramiknya, atau grafisnya. Semua itu akhirnya bertalian dengan identitas
(istilah Oesman Effendi pada 1969: ”capnya”), maka apa dan bagaimana identitas
seorang seniman itu terbentuk? Siapa yang membentuk? Sejarawan seni, kritikus,
atau masyarakat umum?
Jika
kita kembali pada dua kubu tadi, sekurangnya, pembentukan identitas seorang
seniman itu sebenarnya bisa diperkirakan. Pada yang pertama identitas seorang
seniman hanya dan hanya jika terjadi dari performanya sendiri. Seniman modern
membentuk dirinya sendiri. Ia adalah pusat dari daya pembentukan tersebut:
independen, otonom. Karya-karyanya bukanlah karya anonim sebagaimana paradigma
komunalisme-tradisionalisme. Kemodernan mencabut seni dari integrasinya dengan
kehidupan, agama, dan budaya. Seniman modern menandatangani karyanya sebagai bukti
otentik dan eksistensi dirinya. Pada kubu kedua, seniman ”dibentuk dan
membentuk” (bersama-sama) nilai instrumental apakah itu moral, spiritual, atau
kondisi sosial sekitarnya.
Pelukis S. Sudjojono |
Kini
kita cermati bagaimana, secara intrinsik, ”identitas” tersebut dipahami. Contoh
kasus: Sudjojono. (1) Tanda tangan, S Sudjojono acapkali membubuhkan 2-4
sekaligus tanda tangan di satu lukisan. Ia memiliki dua macam tanda tangan:
menuliskan namanya, S Sudjojono, dan SS.101/kota/titimangsa, misal
SS.101/Jak(arta)/1978. (2) Narasi, S Sudjojono acapkali menuliskan penggalan
narasi dalam lukisannya.
Narasi
tersebut tidak selamanya berhubungan dengan apa yang ia lukiskan. Salah satu
lukisan buket bunga mawar yang ia lukis, misalnya, malah dibubuhkan
pandangannya terhadap situasi politik. Dari sini, dan diperkuat koleksi
sketsa-sketsanya, kita tidak hanya bisa mempelajari ”cara S Sudjojono menulis”
atau ”merangkai kalimat”, tetapi juga menganalisis ”cara dia berpikir dan
mengungkap kepribadiannya”. (3) Kredo, setiap seniman umumnya memiliki kredo
yang layak dijadikan dasar pijakan guna memahami karya ciptaan ataupun
pemikirannya. Kredo ini sering kali diimplementasikan dalam sikap dia berkarya.
Salah satu kredo S Sudjojono: ”Kebenaran nomor satu, baru kebagusan”.
Implementasi kredo ini terlihat dari cara S Sudjojono menghampiri detail obyek
yang ia lukis. (4) Analisis formal, kajian tentang ukuran, sapuan kuas (brush
stroke), tekstur, warna (komplementer/kontras), garis kontur (tebal/tipis),
garis (horizontal/vertikal/sirkular), medium (tinta/cat minyak), komposisi
(simetris/diagonal), cahaya (kontras/gradasi/alamiah), bentuk, ruang, dan
sebagainya.
Lukisan S. Sudjono "Gembala Kambing" |
Pada
lukisan S Sudjojono yang cenderung menghadirkan ”kedalaman”, penting
diperhatikan aspek-aspek yang ditimbulkan: overlapping, foreshortening, contour
hatching, shading/modeling, relative position from the ground, dan
perspectives. (5) Subject matter dan content, misalnya figur, alam benda,
romantisme/revolusi, komentar sosial, rekaman keseharian, religi, lanskap, dan
fantasi merupakan kecenderungan pokok dalam lukisan-lukisan S Sudjojono. Tidak
seperti Affandi yang berulang kali melukis adu ayam jago atau Popo Iskandar
dengan kucing, S Sudjojono nyaris tidak pernah menghampiri tema-tema seperti
itu. (6) Dan ragam analisis lainnya.
Metode .
Sebagaimana
dikatakan bahwa orisinalitas, otentisitas, dan otonomi merupakan trinitas dalam
modernisme. Ketiganya bukan hanya kebutuhan, melainkan menjadi syarat mutlak
dan tuntutan. Dalam seni, seorang seniman dituntut menemukan kebaruan, inovasi
dalam ide, dan teknik media. Modernisme juga mementingkan otentisitas dan
orisinalitas. Jadi, pengujian akan keaslian suatu lukisan adalah kebutuhan atau
hasrat manusia modern. Celakanya, kemodernan di Indonesia sesungguhnya belum
berlangsung. Ini terbukti dengan lemahnya infrastruktur sosial dan termasuk
seni rupa di dalamnya—salah satunya pemanfaatan teknologi (laboratorium seni).
Untuk kasus lukisan palsu—seperti yang sudah banyak disinggung oleh sejumlah
pengamat—pemeriksaan keasliannya bisa dilakukan dengan uji laboratorium dan
berdasarkan fakta- fakta sejarah.
Dalam
situsnya, laboratorium Museo d’Arte e Scienza di Italia dengan gamblang
menerangkan bagaimana pemeriksaan otentisitas lukisan bisa dilakukan.
Diterangkan bahwa pendekatan yang berbeda untuk menentukan keaslian lukisan
bisa dihampiri dengan memeriksa keaslian melalui evaluasi murni gaya, memeriksa
keaslian lukisan dengan cara mengetes usia material, dan memeriksa keaslian
lukisan dengan menggunakan metode instrumental ilmiah. Laboratorium ini menganalisis
lukisan dengan memanfaatkan, antara lain, infrared reflectography, wood's
light, a stereoscopic microscope, dan IR spectroscopy. Analisis mikroskopik,
misalnya, digunakan untuk memeriksa tanda-tanda penuaan pada lapisan cat dan
sifatnya (alam atau buatan), pigmen (kristalinitas, kemurnian, dan ukuran).
Sementara analisis IR spectroscopy memungkinkan kita menganalisis berbagai
bahan untuk memastikan kompatibilitasnya dengan periode sejarah.
Sementara
analisis sejarah (faktor ekstrinsik) menekankan inventarisasi bukti-bukti
historis berupa ingatan individu/komunal, catatan-catatan, dan sebagainya.
Misalnya, ditemukan sejumlah bukti bahwa pada masa menjelang kedaulatan 1949,
Indonesia terisolasi dari dunia luar. Pendeknya, lukisan dikerjakan di atas kain
belacu dan kertas. Satu tube cat digunakan secara bergantian oleh seniman lain.
Ukuran kanvas pada masa ini relatif kecil—kalaupun terdapat kanvas berukuran
besar, kita akan mudah melihat adanya sambungan (jahitan). Bukti ini kita
temukan pada lukisan ”Sekko” (S Sudjojono) dan ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat”
(Affandi) yang dilukis pada masa-masa itu.
Keduanya,
baik sarana laboratorium maupun penulisan sejarah seni rupa Indonesia, masih
sama-sama lemah. Perlu kiranya dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik
pemerintah maupun swasta, guna mendirikan institusi seni rupa yang mampu
menjernihkan permasalahan dalam seni rupa Indonesia. Tanpa dukungan yang nyata,
sebagai aset penting bagi identitas bangsa, seni rupa kita akan lenyap ditelan
zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, benda-benda
seni rupa kita akan berhenti sebagai benda ”bersejarah yang sia-sia”.
)* Aminudin
TH Siregar Dosen Seni Rupa ITB
Tulisan
ini pernah disampaikan dalam sarasehan ”Menyikapi Maraknya Lukisan Palsu di Era
Ekonomi Kreatif”, Galeri Nasional Indonesia, 26 Juli 2012.
Sumber
:
Kompas
Cetak
Editor
:
Jodhi
Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar