Senin, 22 Juli 2013

Bagaimana Kita Belajar? Oleh Slamet Priyadi

Bagaimana Kita Belajar? Oleh Slamet Priyadi



Image "Belajar Perlu Keseriusan" (Foto: priyadi1957)
Belajar perlu keseriusan
Slamet Priyadi – Minggu, 21 Juli 2013 – 07:01 WIB – Belajar berarti merubah atau memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman dan kontak dengan lingkungan. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tak mahir menjadi mahir, dari tak pandai menjadi pandai, dan lain-lain. Agar semua itu bisa kita capai dan berhasil dengan baik, dibutuhkan sikap serta kemauan yang keras, kegigihan yang kuat, pelatihan yang terus menerus, dan kesabaran yang tinggi. hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa saat berguru kepada Khidir sebagaimana diriwayatkan 'Ubaidillah bin 'Utbah bin Mas'ud, dari Ibnu 'Abbas.
Pada saat Ibnu ‘Abbas berdiskusi dengan Alhir bin Qais bin Hisn al-Farazi tentang Nabi Musa dan Khidir, melintas di hadapan mereka ‘Ubai bin Ka’ab. Ibnu ‘Abbas lalu memanggilnya seraya berkata, “Aku dan saudaraku ini sedang mendiskusikan sahabat Nabi Musa ‘alayhis-salam, Khidir”.  Nabi Musa sampai meminta petunjuk dengannya. Apakah kamu pernah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alayhi wa Sallam pernah menjelaskan tentang hal itu?” 
“Ya,” kata ‘Ubay bin Ka’ab. “Aku pernah mendengar Rasullullah Shallallâhu ‘alahi wa Sallam pernah menjelaskan tentang hal itu.” Lebih lanjut ‘Ubay bin Ka’ab menuturkan bahwa Beliau pernah bersabda: 
Ketika Nabi Musa berada di tengah-tengah Bani Israel, datanglah seseorang bertanya kepadanya, “Apakah anda tahu rang yang berilmu daripada Anda?” “Tidak,” jawab Nabi Musa. Maka, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa, “Ada wahai Musa. Ia adalah Khidir.” Musa lalu memohon kepada Allah agar mendapat petunjuk menemui Khidir. Lalu, Allah jadikan ikan sebagai tandanya. Dikatakan kepadanya, “Jika kamu kehilangan ikan ini, kembalilah dan kamu akan menjumpainya.”
Nabi Musa mengikuti jejak ikan itu di laut. Murid Nabi Musa berkata kepadanya, “Tahukah Anda tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu. Tidak ada yang melupakanku untuk menceritakannya, kecuali setan.” “Inilah tempat yang kita cari!” kata Nabi Musa. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula(Q.s. al-Kahfi[18]: 63-64). Selanjutnya mereka pun menemui Khidir. 
Ketika Nabi Musa berkenan menyampaikan keinginannya untuk berguru kepada Khidir, syarat yang harus dipenuhinya untuk berguru kepada Khidir adalah mampu memiliki sifat sabar. Dan, kisah mereka seperti yang Allah ceritakan dalam kitab-Nya.*)
 
Dari kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir di atas ada pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran itu berupa empat prinsip belajar, yaitu: 1. Prinsip kemauan yang kuat, 2.  Prinsip kegigihan dalam belajar, 3. Prinsip pengasahan diri yang terus menerus, dan 4. Prinsip kesabaran yang tinggi.  Keempat prinsip tersebutlah yang dimiliki Nabi Musa saat berguru kepada Khidir. (priyadi1957)
*) Diriwayatkan 0leh Bhukhâri dan Muslim.
Referensi:
*Sarlito Wirawan Sarwono. 1976. "Pengantar Umum Psikologi". Jakarta: Bulan Bintang.
*Dwi Budiyanto. 2009. “Prophetic Learning”. Yogyakarta: pro-U Media.
Posted:
Slamet Priyadi Pangarakan, Bogor

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Bagaimana Kita Belajar? Oleh Slamet Priyadi: Belajar perlu keseriusan Slamet Priyadi – Minggu, 21 Juli 2013 – 07:01 WIB – Belajar berarti merubah atau memperbaiki tingkah laku...

Jumat, 05 Juli 2013

Slamet Priyadi: "Dongeng Burung Emprit dan Burung Tinggalanak (Bag. 2 Habis) Dikisahkan Oleh Sita


Blog Sita - Senin, 01 Juli 2013 - 05:13 WIB

Kak Sita
Assalamu'alaikum... Adik-adik, salam jumpa dan salam sejahtera selalu! Kak Sita kembali akan melanjutkan dongeng tentang burung emprit dan burung tinggal anak yang belum selesai kepada adik-adik semua. Jangan bosan, ya sebab ceritanya memang agak panjang. Pak Slamet yang menulis cerita ini memang sedang ada kesibukan dan tugas-tugas yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, kak Sita mendongengnya terputus-putus bersambung terus, salam penuh kasih dari kak Sita buat adik-adik semua. Inilah cerita berikutnya!
  
Di atas dahan dengan daun-daun yang didapat di sekitar pohon yang mereka singgahi, mereka buat sarang untuk tempat tinggal mereka yang baru. Burung Mesir lalu membelai kedua anaknya dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam hatinya berkata, “Oh, anakku hampir saja jiwamu melayang menyusul ayahmu. Untunglah ada pamanmu di sini yang bisa membantu dan menolong kita. Mudah-mudahan saja dia akan betah tinggal di sini menemani kita selamanya”. 

Ketika burung Mesir masih dalam lamunannya, burung emprit menyapanya perlahan, “Wahai Tinggalanak, apa yang sedang kau pikirkan? Aku melihatmu seperti dalam kebingungan. Apa ada yang mengganjal pikiranmu terkait dengan keberadaanku di sini?”

Sedikit terperanjat burung Mesir menjawab pertanyaan burung emprit, “Oh, tidak...tidak... aku hanya berpikir bagaimana jika tidak ada engkau di sini, mungkin kami bertiga sudah mati menjadi santapan ular hijau kecokelatan yang buas dan sangat berbisa itu. Dan karena nya aku mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala pertolonganmu kepada kami”.

“Akh, saya pikir itu memang sudah seharusnya kita saling tolong menolong, bantu membantu dalam segala hal. Malah justru aku yang seharusnya banyak berterimakasih kepadamu, Tinggalanak. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku tak berjumpa denganmu di negeri Mesir yang sama sekali masih asing bagiku ini”. Sudahlah, Tinggalanak! Kita tak perlu larut dalam pembicaraan yang tidak penting itu. Pokoknya kita sama-sama tahu sajalah. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita mencari jalan keluar agar kita bisa terhindar dari ancaman dan mara bahaya yang disetiap saat bisa mengancam keselamatan kita dan anak-anakmu”. Demikian burung emprit berkata kepada burung Mesir. Nampaknya mereka dari waktu ke waktu sudah semakin akrab saja.

Pada satu kesempatan, burung emprit mengungkapkan hasratnya untuk mempersunting burung Mesir dan mengajak burung Mesir untuk ikut serta bersamanya kembali ke negeri Jawa Dwipa di kepulauan Nusantara, “Tinggalanak, aku ingin berterus terang kepadamu bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu, dan berkeinginan sekali untuk mempersuntingmu menjadi istriku. Apakah engkau mau menerima lamaranku ini?” Demikian pernyataan isi hati burung emprit diungkapkan dengan secara terus terang dan terbuka kepada Tinggalanak, burung Mesir yang sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil itu.

Mendengar pernyataan dan pertanyaan yang begitu  cepat dan terus terang tanpa tedeng aling-aling serta tidak diduga-duga dari burung emprit Jawa, burung Mesir menjadi terperangah, betul-betul pernyataan itu membuat kaget dirinya. Meski pun di dalam hatinya  sesungguhnya ia sangat gembira dan bahagia sekali mendengarnya.  Burung Mesir masih terdiam membisu dan menundukkan kepalanya belum menjawab pertanyaan burung emprit. Sampai akhirnya pertanyaan kedua diajukan lagi oleh burung emprit Jawa,

“Bagaimana dengan pertanyaanku tadi Tinggalanak? Apakah kau mau menjadi istriku? Jika kau setuju, maka aku akan mengajakmu pergi ke kampung halamanku Negeri Jawa Dwipa di Nusantara. Negeri yang teramat elok nan permai dengan hutan dan rimba belantara  yang membentang luas, tanah persawahan dengan padi-padinya yang menguning, air sungai yang mengalir jernih, riak ombak di lautan  yang membiru, putih berkilauan bagaikan ratna mutu manikan, gemah-ripah dan loh jinawi semua itu akan kau lihat dan saksikan sendiri, Tinggalanak!” 

“Sebenarnya aku mau menjadi istrimu dan ikut ke negerimu, di Jawadwipa. Akan tetapi bagaimana dengan kedua anakku yang masih kecil-kecil dan belum bisa terbang jauh sebagaimana kita, Emprit? Bagaimana jika kita menundanya selama sembilan bulan sampai anak-anakku bisa terbang dengan kuat?” Jawab burung tinggal anak sambil memberi alternatif pilihan dan saran pada burung emprit.

“Baiklah Tinggalanak, aku setuju dengan saranmu! Aku akan datang lagi kemari setelah  enam bulan kemudian, dan sementara ini aku akan pergi dulu untuk mencari makanan secukupnya untuk bekal di perjalanan.” Burung emprit kemudian terbang meninggalkan burung tinggalanak dan kedua anaknya.

Singkat cerita, sembilan bulan pun telah berlalu. Kedua anak burung Tinggalanak, kini sudah remaja, tampan dan gagah pula. Bulu-bulu dan sayapnya nampak kuat. Mereka terbang dari dahan satu ke dahan yang lain, dari pohon tempat tinggal mereka ke pohon yang lain dengan sigap dan cekatan sekali. Sepertinya mereka memang sudah siap untuk terbang jauh menyeberangi samudra melintas benua. Sementara induk mereka memperhatikan dari jauh  akan sepak terjang kedua anaknya itu dengan penuh perasaan bahagia dan suka cita. Saat kedua anaknya kembali dan menghampiri dirinya, ia pun menanyakan pada kedua anaknya itu. 
“Anak-anakku kalian kini sudah menjadi besar. Ibu lihat terbang kalian pun sudah demikian tangkas, kuat dan cekatan. Hari ini mungkin paman kalian akan datang mengajak kita pergi merantau ke negeri jauh nun di seberang lautan, negeri Jawadwipa. Apakah kalian siap untuk ikut bersama ibu?” 
“Wow! Tentu saja ibu, ananda sangat siap dan kami berdua bahkan sangat gembira sekali untuk pergi terbang jauh mengunjungi negeri yang menurut teman-teman ananda yang sudah pernah berkunjung ke sana, Jawadwipa adalah salah satu negeri terindah di dunia dengan pemandangan alamnya yang sangat mempesona dan bangsa manusianya serta burung-burungnya yang seperti kita ini sangatlah ramah, penuh rasa persahabatan terhadap sesamanya. Kapan kita berangkat ibu? Terus terang ananda sudah tak sabar menunggu hari keberangkatan itu!” Demikian jawaban kedua anaknya dengan penuh suka cita.   
Menjelang senja saat Matahari mulai terbenam, burung Emprit tiba dan hinggap di salah satu ranting pohon tempat tinggal mereka yang langsung disapa dengan suka cita oleh burung Tinggal anak dan kedua anak-anaknya.  
“Wahai paman Emprit, kami sudah lama sekali dan tak sabar menanti kehadiran paman di sini. Selamat datang paman!" Kedua anak burung Tinggalanak menyapa kehadiran burung Emprit secara serempak.
“Assalamu’alaikum dan salam sejahtera untuk kalian semua. Sungguh paman juga gembira dan bahagia sekali melihat kalian berdua sudah besar-besar, tampan dan gagah-gagah! Bagaimana kabar kalian? Tentunya kalian pasti sudah sangat siap untuk terbang jauh berkunjung ke negeri paman, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara, bukan?!”
Mendengar itu anak tertua menjawab, “Kabar kami sangat sehat, paman! Bahkan terlalu sangat siap untuk terbang jauh bersama  ibunda dan paman.” "Iya paman, kami siap!" Jawab putera kedua.
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mereka semua, burung Tinggalanak dan kedua puteranya serta burung Emprit pun berangkat, terbang melesat dengan cepat meninggalkan tempat tinggal mereka. Meninggalkan negeri mereka tercinta, Mesir untuk menuju ke negeri seberang, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara. 
Tak diceritakan secara panjang lebar di tentang perjalanan mereka menuju negeri Jawadwipa. Singkat cerita, mereka telah sampai di ujung utara pulau Sumatra. Tepatnya di selat perbatasan antara negeri Malaysia dan Indonesia. Secara tiba-tiba terjadi perubahan cuaca yang sangat mendadak, tiba-tiba terjadi badai besar, air laut menggulung-gulung setinggi gunung, bumi berguncang, angin kencang puting beliung  menhanyutkan apa saja yang ada di pesisir pantai utara  pulau Sumatra. Kedua putera Burung tinggalanak yang memang sudah kelelahan terpisah dari ibunya tak ketahuan lagi rimbanya. Hanya tinggal mereka berdua yang masih bersama-sama, terbang terhempas kian kemari bertaha hidup dari badai besar yang mengancam jiwanya. Ditengah-tengah badai besar dan angin kencang yang menghempaskan keduanya, burung Tinggalanak masih sempat bertanya kepada burung Emprit yang sedang berupaya mengatasi derasnya hujan dan badai di lautan serta hembusan angin kencang yang membuat tubuh mereka terombang-ambing di atas samudera yang cukup luas itu. 
“Kanda Emprit bagaimana dengan kedua anak-anakku? Aku tak mau terpisah dari mereka, aku sangat mencintai dan mengasihinya. Tolonglah kanda Emprit, jangan tinggalkan mereka!” Demikian ratap dan tangis burung Tinggalanak mengharap kepada burung Emprit agar mencari kedua anaknya terlebih dahulu.
“Dinda Tinggalanak, sebaiknya kita tak usah memperhatikan mereka dulu. Mereka berdua sudah besar-besar, tenaganya lebih kuat dari kita. Aku yakin mereka berdua selamat dan kelak mereka akan mencari kita, percayalah padaku dinda Tinggalanak!” Demikian jawaban yang diucapkan burung Emprit kepada istrinya, burung Tinggalanak. Suatu jawaban yang sungguh di luar perkiraan dan sangat tidak diharapkan burung Tinggalanak, dan itu sudah membuat hatinya kecewa dan terluka hati burung Tinggalanak. Pikirnya, ternyata suaminya teramat egois hanya mementingkan keselamatan diri sendiri, dan tidak memiliki perasaan empati serta tidak mau memahami perasannya yang begitu sangat mengasihi dan menyayangi kedua puetranya yang baru berangkat dewasa.
“Baiklah kanda Emprit! Jika itu kemauanmu, aku tak mengapa. Akan tetapi aku akan tetap mencari kedua anak-anakku terlebih dahulu. Tinggalkanlah aku sendiri, dan pergilah! Kelak aku akan selalu mencarimu, memanggil namamu. Di setiap kampung yang aku singgahi aku akan mencicit, menjerit-jerit dengan bunyi suara yang menyayatkan hati seperti orang yang ditinggal mati. Dan ‘roh’ aku pun akan masuk ke dalam dirimu sehingga engkaupun akan berbunyi dan bersuara seperti aku karena aku ada dalam dirimu."  Bersamaan dengan ucapan kata terakhir burung Tinggalanak,  kilatan petir menyambar tubuh burung tinggal anak yang seketika itu juga mati, hangus terbakar.
Beberapa hari kemudian setelah badai reda, dan cuaca kembali normal seperti sedia kala, di setiap daerah mulai dari ujung Sumatra utara terus hingga pulau Jawa, nampak burung Tinggalanak yang sudah menjelma menjadi burung Emprit bertengger di atas pucuk-pucuk pohon di setiap daerah kampung yang dilalui dan disinggahinya. Burung emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap menyayat hati dengan suaranya yang seakan-akan memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...!"(dalam bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit... prit, balikkanlah saya ke Mesir.”)
Dan yang  anehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit ini, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan". 
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

Slamet Priyadi (Foto: SP)
Burung Tinggalanak atau burung Emprit selalu bertengger di atas pucuk-pucuk pohon. Setiap daerah atau kampung yang dilalui dan disinggahinya, burung Emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap. Bunyinya menyayatkan hati seperti memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...(dalam bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit... prit, balikkanlah saya ke Mesir.”) Anehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit tersebut, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan".
Sita Blog: "NINA BOBO": Slamet Priyadi: "Dongeng Burung Emprit dan Burung ...: Blog Sita - Senin, 01 Juli 2013 - 05:13 WIB Kak Sita Assalamu'alaikum... Adik-adik, salam jumpa dan salam sejahtera selalu! Ka...

Mulailah Dari Diri Kita Sendiri Oleh Slamet Priyadi


Slmet Priyadi Blog│Jumat, 05 Juli 2013│20:43 WIB
Slamet Priyadi
Suatu ketika di salah satu masjid, seorang ustadz penda’wah berceramah dalam suatu pengajian majelis taklim kaun ibu tentang pentingnya berinfak di jalan Allah. Dan kebetulan, majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan dakwah sang ustadz, salah satu di antaranya adalah istrinya sendiri.
Ceramah yang disampaikan sang ustadz tentang pentingnya infak, begitu mempesona, ekspresif, simpatik, dan menarik dengan  suaranya yang begitu khas, terkadang lembut, terkadang keras dan tegas. Sehingga beberapa jamaah sampai-sampai ada yang meneteskan air mata, menangis karena dakwah sang ustadz merasuk ke dalam lubuk hati mereka, termasuk istrinya sendiri. Istri sang ustadz menangis karena sangat tersentuh dengan apa yang disampaikan dalam ceramah suaminya itu.  
Setelah pengajian selesai, istri sang ustadz bergegas pulang ke rumahnya.  Sebelumnya, ia segera melepas perhiasan gelang dan kalung yang ada di tangan dan lehernya, lalu menyerahkannya kepada ketua kelompok pengajian. Ia juga mengambil sebagian harta dan emas yang disimpan di rumahnya lalu diinfakkannya dengan tujuan semata-mata karena Allah. 
 
Beberapa jam kemudian, setelah selesai menyampaikan dakwah di masjid, suaminya pun tiba di rumah. Sang ustadz segera menyapa istrinya dengan penuh perasaan cinta sambil membelai rambut istrinya sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya setiap pulang dari berdakwah. Akan tetapi ia sedikit terkejut dan heran, karena dilihatnya sang istri terkasih tidak mengenakan gelang dan kalung perhiasan. Ia pun bertanya kepada istrinya:
“Istriku, kemana gelang dan kalung perhiasan yang kau pakai di pengajian tadi? Kau tambah cantik dengan memakai perhiasan itu, istriku.” Tanya sang ustadz kepada istrinya sambil kembali membelai-belai rambutnya. Istrinya pun menjawab pertanyaan suaminya dengan penuh manja:
“Suamiku...! hampir semua majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan ceramah di pengajian, tersentuh hatinya oleh materi ceramahmu tentang pentingnya berinfak di jalan Allah, termasuk istrimu ini. Bahkan aku pun ikut menagis pula tak bisa menahan haru. Setelah selesai, ibu ketua majelis taklim menyerukan kepada semua ibu-ibu anggota kelompok pengajian agar menginfakkan sebagian hartanya.  Maka dengan ikhlas penuh kesadaran sebagai umat Islam, aku pun menyerahkan pula gelang dan kalung perhiasan itu, bahkan sebagian harta yang masih ada akan aku serahkan pula untuk dikumpulkan oleh ketua pengajian yang selanjutnya akan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.”
Mendengar jawaban dan penuturan istrinya, sang ustadz bukannya berbangga dengan apa yang telah dilakukan istrinya, tetapi malah kecewa dan sedikit marah:
“Aduh, aduh, aduh, bagaimana ini? Istriku! Semua kata-kata yang aku ucapkan dalam ceramahku tadi, itu bukan untukmu! Akan tetapi... untuk mereka hadirin kelompok pengajian yang lain, bukan engkau tahu!”
Nah, sobat! Jika kita cermati ilusterasi cerita di atas, tentu sangat paradok, bukan? Seorang penceramah yang mengajarkan ajaran syariat agama yang seharusnya harus dicontoh dan diteladani ucapan-ucapannya justru berbuat sebailiknya, tidak adanya satu kata dan perbuatan.  Bukankah Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berfikir?” (QS. Al-Baqarah:44)
 
Dengan demikian, sebelum menggebu-gebu menyuruh atau menasehati orang lain untuk berbuat baik atau berperilaku baik, sebaiknya terlebih dahulu melakukan perbuatan baik oleh diri sendiri. Sangat keliru dan salah besar jika menuntut atau menyuruh orang lain memiliki sifat-sifat baik sementara dia sendiri belum memiliki sifat-sifat tersebut. Orang bijak berkata, “Orang yang melihat dan mendidik dirinya sendiri adalah lebih berhak mendapat kehormatan daripada orang yang mendidik dan mengajari orang lain.”
Imam ‘Ali berkata, “Barang siapa menjadi pemimpin, hendaklah ia mulai dengan mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain, dan mendidik dengan perilaku sebelum dengan lisan.” (Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, hal. 25)
Demikianlah! Semoga ada manfaatnya, terutama untuk diri saya sendiri! 
Referensi:
Khalil Al-Musawi,2002, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera.
Penulis:
Slamet Priyadi, Pangarakan - Bogor

1 komentar:

  1. Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berfikir?” (QS. Al-Baqarah:44)
    BalasHapus

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Mulailah Dari Diri Kita Sendiri Oleh Slamet Priyad...: Slmet Priyadi Blog│Jumat, 05 Juli 2013│20:43 WIB Slamet Priyadi Suatu ketika di salah satu masjid, seorang ustadz penda’wah be...