Rabu, 26 Juni 2013

Slamet Priyadi: "Tradisi Saweran Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Sunda "

Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 22 Juni 2013│08:27 WIB

Pelaksanaan IJAB QOBUL oleh pak Penghulu
Pada hari Jumat, 15 Juni 2013 pukul 09:20, saya menyaksikan prosesi pernikahkan putra kedua saya, Jagad Perwira dengan Bunga Restu putri kedua dari bapak Encep Hudri dan ibu Euis (besan) di rumahnya yang beralamat di kampung Tejo Ayu, Cicurug, Sukabumi.
Ada acara yang cukup unik dan menarik dari keseluruhan prosesi upacara perkawinan tersebut, yaitu acara setelah prosesi pernikahan atau Ijab Kabul Sang Pengantin selesai dilaksanakan berupa "Tradisi Saweran” yang banyak memberi pesan moral, social, dan bersifat religius. Dalam pelaksanaannya ternyata Tradisi Saweran ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah upacara perkawinan masyarakat sunda yang sudah turun-temurun dilakukan, berisikan petuah-petuah yang disampaikan kepada sang pengantin agar mereka di kemudian hari mampu mengarungi bahtera rumahtangga secara damai, sejahtera, harmonis dan bahagia.
 
Juru Sawer memandu upacara sawer sambil menyanyikan tembang yang berisi pituah-pituah bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga yang syakinah, mawaddah, warohmah
Pada acara Saweran ini, kedua mempelai duduk secara berdampingan, yang didampingi oleh orangtua masing-masing mempelai. Sebuah payung berwarna emas memayungi keduanya. Lantunan tembang-tembang sunda disampaikan oleh juru sawer yang mengandung pituah-pituah, bagaimana seharusnya menjalani kehidupan sebuah mahligai rumah tangga bahagia. Dalam sesi ini, juru sawer di tengah-tengah lantunan tembang yang dinyanyikan, menebarkan berbagai jenis benda  dalam “bokor” yang berisi koin uang recehan, beras, bunga, permen, dan lain-lain kepada hadirin dan para undangan. Menurut juru sawer, hal ini merupakan symbol atau lambang, dimana uang sebagai lambang kemakmuran, beras sebagai lambang kesejahteraan, dan permen sebagai lambang bahwa, sepahit apapun proses kehidupan yang dijalani dalam hidup berumah tangga, harus selalu diselesaikan dengan cara yang manis semanis rasa permen.

Acara saweran dengan menebarkan permen dan uang recehan oleh juru sawer merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu dan sangat disukai anak-anak yang menyaksikan jalannya acara saweran ini. Mereka saling berlarian, melompat sana-sini saling berebut koin uang recehan dengan penuh suka cita penuh canda ria. 
Orang tua wajib mendampingi kedua mempelai saat acara pemberian doa restu dari sanak keluarga, handai taulan, hadirin, dan para undangan
Menurut Juru Sawer selaku pemandu jalannya upacara ini, "Tradisi Saweran yang dilakukan pada setiap upacara perkawinan atau upacara khitanan dalam keluarga masyarakat Sunda merupakan lambang rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah rizki yang telah diberikan dan dimilikinya. Lain daripada itu , upacara ritual ini juga bertujuan agar kedua mempelai pasangan pengantin dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya bahwa di dalam hidup ini, agar selalu saling berbagi, saling membantu, saling bekerja sama, saling tolong menolong terhadap sesama".
Syah menjadi pasangan suami istri dan siap pula menghadapi romantika kehidupan berumah tangga
Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud
Penulis:
Slamet Priyadi Pangarakan, Bogor

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Tradisi Saweran Dalam Upacara Perkawinan Masyaraka...: Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 22 Juni 2013│08:27 WIB Pelaksanaan IJAB QOBUL oleh pak Penghulu Pada hari Jumat, 15 Juni 2013 pukul 09:...

Karya Siswa: "Komposisi Lagu Ane Bangge SMAN 42 Ciptaan Slamet P





Aisya Mulyani
Dhea Pradekta Sari X-6
Efira Kls X-6
 

Senin, 24 Juni 2013

Upaya Meningkatkan Prestasi Akademik Siswa SMAN 42 Oleh Slamet Priyadi

 Slamet Priyadi Blog│Senin, 25 Juni 2013│12:20 WIB 

Slamet Priyadi SMA Negeri 42
Dalam berbagai kesempatan saat saya dan teman-teman santai minum kopi di kantin samping Rumah sakit Halim, saya acapkali berbincang-bincang tentang berbagai hal. Sekali waktu kami bahas juga tentang prestasi akademik siswa SMA Negeri 42 yang masih  tertinggal dengan sekolah lain seperti SMAN 48, SMAN 81 dan yang lain. Dalam kesempatan diskusi tersebut saya lontarkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah sekolah memiliki pengaruh besar terhadap prestasi belajar siswa?”, “Mengapa sampai sekarang prestasi akademik siswa SMA Negeri 42 masih  tertinggal dengan sekolah lain yang notabene lebih muda usianya dibanding SMA Negeri 42?”. Rupanya beberapa pertanyaan tersebut cukup menggelitik dan membuat berkerut kening teman-teman oleh karena jawabannya memang membutuhkan suatu  analisa secara pedagogis serta pemikiran   yang  referensional (berdasar keilmuan).

Jawaban klise terucap dari teman-teman, “Ya tentu, dong! Soalnya perekrutan siswa kelas X pada awalnya memang sudah bukan siswa-siswa yang pilihan, dalam arti siswa-siswa yang masuk mendaftar ke SMAN 42 bukan pilihan pertama akan tetapi pilihan  ke dua yang secara intelektual relative rendah”.  Dengan Input dan kualitas siswa yang demikian tentu saja wajar apabila outputnya pun juga rendah. 

Jika dipikir,  jawaban tersebut memang ada benarnya juga. Akan tetapi jika demikian adanya, hal tersebut tentu justru menggambarkan kegagalan kita sebagai guru dan sekolah, komponen sekolah beserta fasilitas dan sarana sekolah sebagai institusi pendidikan yang selama ini tempat kita mengabdi, dan bekerja selaku tenaga pendidik. Jelasnya jawaban tersebut seakan-akan menunjukkan kepada kita bahwa SMA Negeri 42 selaku institusi pendidikan tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap performa akademik siswa. 

Apabila kita umpamakan dengan sebuah industri yang memproduksi barang tertentu, jika kualitas bahan bakunya rendah tentu hasil produksinya juga rendah. Dengan demikian di sini jalannya proses produksi menjadi tidak berarti dan mubazir. Padahal prinsip ekonomi mengatakan, “Mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan capital yang sekecil-kecilnya”. Mengacu pada prinsip ekonomi tersebut, seharusnya langkah yang dilakukan adalah bagaimana caranya memaksimalkan suatu produksi dengan modal yang kecil dan bahan baku yang murah, dapat menghasilkan produksi yang baik dan berkualitas sehingga bisa dijual dengan harga yang tinggi atau mahal. 

Pandangan yang menyatakan penyebab rendahnya kualitas siswa (prestasi akademik siswa) karena “input” yang rendah, saya pikir tidak tepat karena itu berarti proses pembelajaran (schooling) yang dilakukan oleh SMAN 42 sama sekali tidak berarti karena tidak memberikan nilai tambah pada diri siswa. Kalaupun ada siswa yang berprestasi menggembirakan, semata-mata itu karena kemampuan dirinya yang memang sudah ada sebelumnya hasil dari didikan dan binaan orang tua atau pada sekolah sebelumnya. 

Pandangan tersebut di atas seyogyannya tidak dijadikan pegangan untuk langkah ke depan. Untuk itu mulai dari sekarang kita para guru dan seluruh komponen sekolah harus bersatu padu bertekad satu  untuk memajukan dan meningkatkan prestasi akademik siswa SMAN 42 dengan bekerja keras, aktif inovatif, kreatif, efektif dan selalu tampil dalam suasana yang menyenangkan sehingga siswa di kelas dapat menerima pelajaran tanpa harus takut dan tegang. 

Berkait dengan hal tersebut beberapa hasil penelitian tentang sekolah yang efektif (effectiveness school) membuktikan bahwa tingkat kecerdasan atau prestasi belajar siswa  sangat ditentukan oleh lingkungan belajar (learning environment) siswa di sekolah. Oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana kita menciptakan suasana yang kondusif yaitu suasana  pembelajaran yang  aktif, apresiatif, kreatif, efektif dan menyenangkan agar setiap siswa mampu mengembangkan dirinya secara optimal. Semakin kondusif dan efektif lingkungan belajar sekolah maka semakin besar pula kesempatan siswa untuk meningkat prestasinya.
Dengan demikian, utamanya kita tidak lagi berdalih mempermasalahkan kualitas input yang diterima sekolah, akan tetapi bagaimana kita memfokuskan pada strategi, model, dan pendekatan serta metode-metode apa yang efektif untuk meningkatkan kemampuan dan pretasi akademik siswa. Kualitas input yang rendah lebih baik kita jadikan sebagai pemicu semangat dalam rangka untuk membuktikan kepada masyarakat, bangsa dan Negara bahwa lembaga pendidikan khususnya SMA Negeri 42 mampu memberikan nilai tambah (value added) bagi siswa semua. JAYALAH, JAYALAH  SMA Negeri 42!
 
Referensi:
Pembelajaran yang efektif-Jamaludin, M.Ed) 

Penulis:
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Upaya Meningkatkan Prestasi Akademik Siswa SMAN 42...: Slamet Priyadi Blog│Senin, 24 Juni 2013│21:05 WIB  Slamet Priyadi SMA Negeri 42 Dalam berbagai kesempatan saat saya dan teman-...

Rabu, 12 Juni 2013

Cerita Rakyat Sumatra Barat: " Asal Nama Minangkabau"


Denmas Priyadi Blog │ Rabu, 12 Juni 2013 │ 18:48 WIB

Minangkabau

Dikisahkan, suatu ketika terjadilah pembicaraan antara Raja Besar dan Raja Kecil di salah satu kerajaan di daerah Sumatra Barat. Raja kecil mempunyai seorang penasihat yang terkenal dengan kebijaksanaannya dan kecerdikannya bernama Catri Bilang Pandai.  Berkatalah ia kepada Raja Penakluk:
 
“Paduka, jika Paduka hendak berperang, kami tidak melawan. Jika Paduka hendak berkuasa, kami juga tidak mau tunduk. Menurut tradisi rakyat kami, Raja yang ingin berkuasa dengan perang bukanlah raja yang adil.”
“Kami tidak mengerti dengan apa yang kamu maksudkan?” Berkata sang Raja Penakluk sambil  mengerutkan dahinya.

“Begini Paduka, mengapa bukan hewan milik kita saja yang diadu untuk berkelahi? Jika hewan Paduka yang menang, kami mengaku kalah. Akan tetapi, jika hewan kami yang menang Paduka harus mengaku kalah.”
“Baiklah aku setuju. Tapi hewan apa yang akan di adu?” Tanya Raja Penakluk.
“Di kerajaan Paduka tentu banyak kerbau, di kerajaan kami juga banyak. Mengapa tidak kerbau saja yang kita adu untuk berkelahi?” Catri Bilang Pandai mengajukan usul.

Pada hari yang telah disepakati, kedua belah pihak berbaur. Mereka makan dan minum bersama-sama sepuas hati. Dibukalah gelanggang aduan. Diiringi bunyi-bunyian musik yang terus berkumandang dengan berbagai macam hiburan yang disajikan. Tibalah saatnya perkelahian kerbau dimulai. Raja Penakluk melepaskan kerbaunya yang sangat besar, kuat, dan menyeramkan membuat seluruh penduduk negeri gempar. Kepalanya merunduk, ekornya mengibas-ngibas, siap menghadapi lawannya. Akan tetapi karena lama lawannya tak kunjung dating, kerbau itu merumput dengan tenangnya.

Pada saat itulah kerbau anak negeri dilepas ketengah gelanggang. Yang menjadi pertanyaan adalah kerbau itu hanya seekor anak kerbau kecil yang sedang menyusui dan kelaparan setelah seminggu tidak menyusu. Di ujung hidungnya diikatkan taji yang sudah diasah tajam sekali.

Melihat kerbau besar di tengah gelanggang, anak kerbau itu kemudian menyeruduk keperut kerbau untuk menyusu karena disangka induknya. Kerbau besar yang sebelumnya sangat menyeramkan itu lari tunggang langgang karena kesakitan, perutnya tertusuk taji yang sangat tajam.
Kerbau itu kemudian lari dari satu kampong ke kampong yang lain. Di suatu kampong, isi perutnya terburai menyebar keluar.  Menurut bahasa penduduk, isi perut kerbau itu tersimpurut.  

Sejak kejadian tersebut nama kampong itu adalah Simpurut. Setiba di kampong yang lain, kerbau itu mati, jangatnya (kulit luar) dikuliti untuk dijadikan bedug. Oleh karena itu, kampong tempat orang menguliti kerbau itu diberi nama Sijangat. Kampong tempat mengadu kedua kerbau itu diberi nama MINANGKABAU.

Sampai sekarang, ketiga kampong yang bersejarah itu masih ada dengan nama yang sama. Selanjutnya, Raja Penakluk tidak kembali lagi ke negerinya. Dia tidak dipandang sebagai raja yang kalah melainkan dihormati dan diambil untuk jadi menantu raja.  Menurut cerita sejarah, dia bukan lain adalah Adityawarman yang mendirikan istana di Pagaruyung. 
Penulis: 
Slamet Priyadi - Kp. Pangarakan - Bogor

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Asal Nama Minangkabau: Denmas Priyadi Blog │ Rabu, 12 Juni 2013 │ 18:48 WIB Minangkabau Dikisahkan, suatu ketika terjadilah pem...

Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda



Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kesalahan sedikit saja, kadang akan dibesar-besarkan. Jika terjadi perlakuan demikian istri diharapkan tetap menanggapinya dengan kelembutan. “Berterimakasihlah pada orang yang mencaci-maki Anda.

Karena itu akan membuat Anda menjadi lebih sabar dan bijaksana,” ujar Gede Prama dalam Seminar “Rebut Masa Depan dengan Menyemai Masyarakat Enterpreneurial” yang digelar Kelompok Media Bali Post bekerja sama dengan Bank Saudara, di Denpasar. Tampil juga sebagai pembicara, founder Medco Group Arifin Panigoro yang mengupas tentang “Tantangan dan Peluang sebagai Surga Masyarakat Entrepreneurial”.

Gede Prama mengatakan tiap tingkatan ke atas pasti selalu akan menemukan banyak halangan, rintangan dan cobaan. Karena tanpa itu, manusia menjadi lemah. Kehidupan harus terus naik. Naik secara material juga spiritual. Keseimbangan ini yang akan membuat manusia bahagia. “Jangan menganggap masalah sebagai racun, tetapi vitamin/berkah. Ini yang akan membuat manusia bertumbuh,” ujarnya.

Rintangan terbesar manusia ada dalam pikirannya. Pikiran positif akan menghadapkan manusia pada peluang, sedangkan pikiran negatif membawa manusia pada ancaman dan halangan. Karena itu, penulis buku “Simfoni di Dalam Diri: Mengubah Kemarahan Menjadi Keteduhan” ini menyarakan peserta seminar untuk selalu berpikir positif.

Ia memberi ilustrasi orang yang mengirimkan kotoran sapi yang diletakkan di halaman rumah tetangganya. Jika berpikir negatif, kotoran sapi ini dinilai sebagai bentuk penghinaan. “Apa maksudnya mengirimkan tahi sapi ke rumahku. Aku tak pernah cari masalah sama dia. Awas aku akan membalasnya.” Kata-kata itu yang bisa jadi terlontar dari mulut orang yang berpikiran negatif. Lain halnya jika penerima kiriman itu berpikir positif. “Tetangga saya itu sangat menaruh perhatian. Mungkin dia melihat tanaman di kebun saya kurang subur dan perlu diberi pupuk. Makanya dia mengirim tahi sapi.”

Gede Prama mengingatkan jangan melihat pesaing atau orang yang membenci kita sebagi musuh, tetapi mereka adalah guru terbaik. Manusia dalam menjalani hidup diharapkan mengikuti mental pengusaha, teguh, dan ulet. Hambatan yang kerap dialami manusia biasanya dikarenakan selalu melihat kendala terlebih dahulu. “Kendala ini harus diubah menjadi kinerja. Di balik penolakan-penolakan itu, kita dituntut lebih kreatif,” ujarnya.

Untuk mencapai suatu keberhasilan, Gede Prama memberikan 4 kunci yakni aspirasi, kebiasaan, konsistensi, dan komitmen. Semua bermula dari aspirasi. Dari aspirasi ini, jika ditekuni (kebiasaan) akan menumbuhkan potensi. Dan, jika dijalani dengan konsisten dan komitmen yang kuat, niscaya mencapai keberhasilan.

Posted:
Drs. I Gusti Ngurah Dwaja

Senin, 10 Juni 2013

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Dalam Era Kali Yuga"

Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB

Jiwantani mrtavan - manye
dehinam dharma - varjitam
yato dharmena samyukto
dirgha-jivi na samsayah”
(Niti Sastra XIII. 9)

Artinya : “Orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan dharma, sebenarnya ia sudah mati, walaupun masih hidup. Seorang dharmaatma, yaitu orang yang perbuatannya sepenuhnya sesuai dengan dharma, sebenarnya ia masih hidup, walaupun ia sudah mati”.

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja (Foto: SP)
Dharma secara umum didefinisikan sebagai kebajikan (virtue), kewajiban (duty) dan agama (religion). Dalam Santi Parwa, Resi Bisma memberikan wejangan kepada Yudisthira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan dan membawa pada kesatuan, keharmonisan dan keselarasan adalah dharma. Segala aktivitas manusia yang menimbulkan perselisihan, keretakan, ketidak selarasan dan menimbulkan kebencian adalah adharma. Segala upaya manusia yang membantu untuk menyatukan segalanya, mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan persaudaraan universal adalah dharma. Dharma merupakan penuntun menuju jalan kesempurnaan, penolong untuk penyatuan langsung dengan Tuhan, sadhana untuk mencapai sifat-sifat ilahi dan merupakan jantung etika/susila Hindu. Resi Kanada dalam waisesika sutranya menyebutkan:

“Ya to bhyudayaniksreyasa siddhih so dharmah”. “Yang menuntun untuk pencapaian kemakmuran di dunia, penghentian total dari derita dan pencapaian abadi setelahnya, adalah dharma”.

Empat Macam Dharma
Salah satu dimensi dari kehidupan adalah adanya interaksi antara harapan/cita-cita dengan kerja. Hidup tanpa cita-cita sama dengan mati. Sedangkan cita-cita tanpa kerja hanyalah sebuah mimpi. Hidup adalah sebuah kerja sesuai dengan swadharma masing-masing. Dalam pengertian dharma sebagai kewajiban (duty), ada empat jenis dharma yang dijadikan landasan dalam kehidupan.

Pertama, Asrama Dharma, merupakan kewajiban hidup sesuai dengan tahapan kehidupan manusia yang dikenal dengan catur asrama. Dalam kaitan dengan tujuan hidup untuk mewujudkan Catur Purusa Artha, maka kewajiban manusia yang termasuk dalam Asrama Dharma ini, mempunyai kaitan yang erat. Pada tingkatan Brahmacari Asrama, kewajiban manusia lebih difokuskan pada pengisian /penguasaan ilmu pengetahuan (jnana), baik pengetahuan keduniawian (Aparawidya) maupun pengetahuan kerohanian (Parawidya). Pada tahap Grhasta Asrama, kewajiban hidup lebih diprioritaskan untuk pemenuhan Artha dan Kama yang berlandaskan atas dharma. Sedangkan pada tahapan Wanaprastha dan Sanyasa, kewajiban hidup lebih dititikberatkan kepada pencapaian kelepasan atau Moksha.

Kedua, Warna Dharma, merupakan kewajiban hidup yang berdasarkan atas guna (sifat) / keahlian) dan karma (perbuatan/ kerja). Brahmana warna,mereka yang ahli dalam bidang spritual keagamaan. Ksatria warna, mereka yang ahli dan bekerja dalam bidang sosial ekonomi/ wiraswasta. sedangkan Sudra warna, mereka yang melakukan kewajibannya /bekerja lebih banyak menggunakan tenaga phisik dalam melayani ketiga wama lainnya (Brahmana, Ksatria, dan waisya).

Ketiga, sadharana dharma, merupakan kewjiban umum yang harus dilakukan oleh setiap insan, tanpa memandang asrama maupun warna. kewjiban umum itu antara lain menghormati sesama, kasih sayang (prema) antar sesama dan kepada semua makhluk, pelayanan yang tulus (sewa), pengorbanan, tolong-menolong dan yang lain.

Keempat, Yuga Dharma, merupakan kewajiban manusia yang disesuaikan / dipengaruhi oleh peredaran jaman (yuga). Dalam falsafah Hindu dikenal adanya empat tahapan jaman (Yuga), yaitu Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga.

Dalam Slokantara disebutkan:
“Pada jaman Satya Yuga tapabratalah yang diutamakan, pada jaman Treta Yuga pengetahuan yang diutamakan. Di jaman Dwapara Yuga upacara kurban (yadnya) yang diutamakan, dan di jaman Kali Yuga hanya kebendaan yang diutamakan”
(S.81.65).

Dalam Tirthayatra Parwa, yang merupakan bagian dari wana Parwa (salah satu parwa diantara delapan belas parwa dalam Mahabaratha) dikisahkan pertemuan antara Bima dengan Hanuman di lembah Gunung Gandhamadana. Dalam pertemuan tersebut, Hanoman memaparkan panjang lebar tentang perwatakan manusia, keadaan alam, pada tiap-tiap yuga dan Catur Yuga. Pada jaman satya Yuga kewajiban masing-masing warna dalam catur warna dilaksanakan dengan semestinya, ajeg, dan dilandasi oleh kebajikan yang utuh. selama Yuga ini tidak ada penyakit, kerusakan, dendam/kebencian, keangkuhan, kemunafikan, kelicikan, ketakutan, kesengsaraan, iri hati dan tidak ada keserakahan.

Pada jaman Satya Yuga dikiaskan Hyang Narayana (Tuhan Yang Maha Esa) berbusana warna putih. Pada jaman Treta Yuga, dharma (kebajikan) surut seperempat bagian, persepsi tentang kebenaran mulai beragam. Kemampuan intelektual (jnana dan wijnana) mendapat tempat yang terhormat pada jaman ini. Tokoh-tokoh Upanisad seperti; Yadnavalkya, Uddalaka Aruni, Nachiheta, Swetaketu dikisahka hidup pada jaman ini Hyang Narayana ( Tuhan Yang Maha Esa) dikiaskan menggunakan busana warna merah. Pada jaman Dwapara Yuga, dharma (kebajikan) surut setengah bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana kuning. Kemampuan untuk memahami/mendalami Weda mulai berkurang. Sifat-sifat yang dibalut oleh rajah dan tamah mulai merasuki kehidupan manusia. Bentuk-bentuk dan sarana pemujaan berkembang pada jaman ini. Jaman Dwapara Yuga merupakan era Itihasa/sejarah kehidupan Rama pada epos Ramayana dan Krishna pada epos Mahabarata, dimana Rama dan Krishna merupakan Awatara Wisnu yang ditugaskan untuk menumpas adharma di dunia. Di jaman Kali Yuga, kebajikan (dharma) hanya tinggal seperempat bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana hitam. Berbagai jenis penyakit, bencana alam bermunculan pada jaman ini. Catur Warna tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang ditetapkan. Upacara, dana punya, tapa berata tidak patut dijalankan lagi. Sifat-sifat buruk yang ditimbulkan oleh guna rajah dan tamah mencapai puncaknya pada jaman ini.

Dharma dan Kali Yuga
Kali Yuga adalah jaman (yuga), dimana kita umat manusia sekarang berada. Menurut Prof. Sir Monier Williams,MA,KOIE, pakar dan Guru Besar bahasa Sanskerta, Kali Yuga telah mulai tepat tengah malam antara tanggal 17 dan 18 Pebruari 3102 Sebelum Masehi (bertepatan dengan penobatan raja Pariksit, cucu Arjuna). Bila dihitung sejak tanggal 18 Juni 1996 yang lalu, Kali Yuga telah dijalani oleh umat manusia selama 5098 tahun lebih 4 (empat) bulan. Dalam Manawa Dharmasatra (I. 64-73) dan Bagawadgita (VIII.17) diulas mengenai lamanya masing-masing jaman (yuga) dalam Catur Yuga. Satya Yuga lamanya/berusia 1.728.000 tahun, Treta Yuga 1.296.000 tahun, Dwapara Yuga 864.000 tahun, dan Kali Yuga berusia/lamanya 432.000 tahun. Usia /lamanya seluruh Yuga adalah 4.320.000 tahun, dan disebut satu kalpa. Dengan demikian jarnan Kali Yuga masih tersisa kurang lebih 426.902 tahun. Suatu rentang/kurun waktu yang cukup panjang. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada jaman Kali Yuga, dharma / kebajikan hanya tinggal seperempat bagiannya. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari / ditolak. Kita umat manusia yang hidup di jaman ini hanya bisa berupaya memperkecil /meminimalkan pengaruh - pengaruh buruk yang di bawa oleh Kali Yuga. Rsi Bhisma yang beralaskan/berbantalkan ratusan anak panah, sambil menantikan ajalnya tiba saat gerakan matahari ngutarayana (berbalik ke utara), dalam Anusasana Parwa, beliau tidak henti-hentinya memberikan wejangan kepada Panca Pandawa, khususnya kepada Yudhistira yang akan memegang tampuk pemerintahan di Astinapura.

Khususnya mengenai Kali Yuga beliau mengatakan:
“Cucuku Yudhistira, tidak seorang manusia pun akan mampu melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Yuga ini. Hanya dengan pengetahuan dharmalah yang akan mampu sedikit melepaskan diri dari pengaruh tiap-tiap Yuga. Setelah jaman Dwapana sekarang ini. Kali yuga segera akan tiba, yang ditandai dengan kegoncangan dunia sebagai akibat oleh awidya (kegelapan). Raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tetapi sebaliknya justru raja-raja yang disedekahi oleh orang-orang kaya”.

Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan, yang dianggap paling berharga pada jaman Kali sekarang ini adalah uang atau harta benda. Bila uang dapat dikuasai, segala benda pemuas nafsu akan mudah didapatkan. Pada salah satu bait kekawin Niti Sastra menyebutkan:

“Yan Yuganta Kali dateng tan hana
mengeluwihaning Sang Maha-dana,
Sang Sura Pandita Widagda pada
mengayap ring Sang Daneswara”.
Atinya : “Bila jaman kali datang,
tidak ada yang lebih hebat dari orang kaya,
Para Ksatria (pejabat),
Pendeta dan orang pandai,
semua sebagai pelayan orang kaya”.

Bertolak dari “hitam kusamnya” jejak-jejak yang dibawa oleh zaman Kali, antisipasi-antisipasi apa yang mungkin masih bisa diupayakan guna meminimalkan pengaruhnya. Jawabannya sudah jelas adalah “back to Religion”, kembali ke jalan Dharma. Jadi bagaimana pelaksanaannya dharma di era Kali Yuga ini adalah minimal, tetap bisa membentengi diri kita di era Kali Yuga ini adalah setidak-tidaknya, tetap bisa mempertahankan kewajiban yang hanya tinggal seperempatnya itu dengan membentengi diri kita dengan Sradha (keimanan) yang kuat. Untuk memelihara etos kerja supaya tetap memiliki semangat melayani yang tinggi, kita bisa simak isi Sloka Bhagawagita (11.47) di bawah ini :

“Kewajibanmu hanyalah pada pelaksanaan kerja,
tidak ada hasil dari kerja itu.
Jangan hasil pekerjaan itu jadi motivasimu
dalam melaksanakan kerja.
Dan jangan sekali-kali engkau berdiam diri”.

Ditingkat sadhanah (pendakian spiritual) atau pendekatan diri kepada Tuhan, kita bisa simak Sloka berikut:
Perenungan/samadi adalah cara rnenghubungkan diri kepada Tuhan di jaman Satya Yuga, kurban suci jaman Yuga, pemujaan pada lingga di jaman
Dwapara Yuga, dan pengucapan maha mantra/kirtanam di jaman Kali Yuga.
(Srimad Bhagawatam 12.3.52)

Jadi berdasaran sloka di atas, cara yang paling tepat dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan di jaman Kali ini, adalah dilakukan kidung suci (kirtanam) dan menyebut nama Tuhan (namasmaranam). Dalam membentengi iman kita, sedemikian sehingga kita memiliki persepsi yang teguh, internalisasi yang mendalarn tentang kekuatan hukum karma, dan dapat memaknai realitas suka duka kehidupan, sloka berikut sangat kontekstual untuk kita kontemplasikan di jaman “kebendaan” sekarang ini:

“ayuh karma ca vittani ca
vidya nidham eva ca
pancaitani hi srjyante
garbhasthasyewa dehinah”.

Umur, pekerjaan, kekayaan,
Pengetahuan dan kematian,
kelima hal ini sudah ditentukan
sewaktu kita masih ada dalam
kandungan.
(Canakya Nitisastra IV.1)

Dalam upaya mengurangi rasa kikir, pengaturan Bhoga, Upabboga, dan Paribhoga, serta memobilisasi semangat berdana punya, bisa kita simak apa yang tersurat dan tersirat dalam sloka berikut:

Hendaknya perolehan harta benda itu dibagi tiga, satu bagian untuk kepentingan dharma/dana punya bagian kedua untuk memenuhi kama, dan bagian ketiga untuk kegiatan usaha memperoleh artha. Demikian hakekat pembagiannya oleh orang yang ingin memperoleh kebahagiaan. (Sarasamuscaya 262).

Perolehan sebanyak banyaknya dan berikan pula sebanyak-banyaknya. Hendaknya engkau bekerja dengan seratus tanganmu dan berdamailah dengan tanganmu.
(Atharvaveda VII.50.)

Ucapan Svami Vivekanda berikut merupakan senjata ampuh untuk menangkal/menanggulangi gejala seksual yang kian merebak di era yuga ini. Sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyimak ucapan beliau saja, namun diperlukan upaya penyadaran diri terus-menerus untuk menepis perilaku asusila yang satu ini. Dalam buku Suara Vivekananda, beliau berkata:

“Bagi para pria, setiap wanita,
kecuali isterinya sendiri harus
dianggap/dipandang
sebagai ibunya sendiri”.
Dan bagi para wanita, setiap pria,
kecuali suaminya sendiri harus
dianggap sebagai anaknya.”

Andaikan saja setiap insan (kaum laki dan perempuan) mempunyai pandangan/pemikiran seperti Vivekananda, maka dunia ini akan terbebas dari pelecehan seksual.

Harapan:
Hembusan angin Kali Yuga kian deras di setiap sudut kehidupan di bumi ini. Kita sebagai umat tidak akan pernah kekurangan/ kehilangan tempat berpijak di tataran “landasan Spiritual”, guna meminimalkan pengaruh jaman kali ini. Berbuatlah seperti anak kera (markata nyaya), yang berpegang teguh kepada induknya, agar tidak jatuh, manakala sang induk loncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Berperilakulah seperti anak kucing (Marjara Nyaya), serahkan diri sepenuhnya, kendati sang induk tampak seperti memakannya, namun itulah cetusan kasih sayang sang induk kepada anaknya.

Posted by:
*) Drs. Igusti Ngurah Dwaja adalah ketua PGRI unit SMA Negeri 42, anggota team penulis Kurikulum 2013
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Da...: Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB Jiwantani mrtavan - manye dehinam dharma - varjitam yato dharmena samyukto dir...

Minggu, 09 Juni 2013

Upacara Wisuda Siswa SMA Negeri 42 Jakarta di Puri Ardya Garini Halim Perdana Kusuma



Denmas Priyadi Blog│Sabtu, 08 Juni 2013│10:02 WIB

Wisudawan dan wisudawati, bapak dan ibu guru duduk rapi menanti acara dimulai
Pagi itu, Senin, 03 Juni 2013 cuaca begitu cerah. Sang Surya menebarkan cahayanya yang kuning keperak-perakan. Sementara di gedung Puri Ardya Garini yang lokasinya terletak di sisi kanan jalan menuju bandara Halim Perdanakusuma, SMA Negeri 42 bersama dengan Komite Sekolah dan para orang tua murid siswa kelas XII IPA dan IPS menyelenggarakan upacara wisuda setelah sebelumnya mereka lulus seratus persen dalam menempuh UN (Ujian Nasional).

Kelompok Padus 42 dengan konduktor Joko Novarianto, S.Sn dan iringan piano Harry mengiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya
Tepat pukul 08:15 acara wisuda dimulai. Dengan penampilan yang mempesona dan menarik serta berwajah  cantik, ditambah berpakaian kebaya khas budaya Indonesia, sang pembawa acara menginformasikan susunan acara dengan suaranya yang lembut namun berartikulasi jelas kepada seluruh hadirin, bapak, ibu guru serta para wisudawan dan wisudawati yang duduk rapi didampingi para wali kelasnya masing-masing. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman oleh seluruh hadirin yang dibantu kelompok paduan suara SMAN 42 dengan konduktor Joko Novarianto S.Sn dan iringan piano, Harry pelatih paduan suara. Lantunan lagu Indonesia Raya pun berkumandang dengan gempita di seluruh ruang gedung Puri Adya Garini menambah suasana hikmat dan rasa nasionalisme yang semakin menguat dalam kebersamaan di setiap dada para hadirin.

Setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya selesai dinyanyikan, semua hadirin pun dipersilahkan duduk kembali oleh pembawa acara. Dan, acara selanjutnya adalah berupa sambutan-sambutan yang disampaikan oleh ketua panitia, kepala sekolah, komite sekolah dan pengawas paket.

Dalam kata sambutannya, kepala sekolah SMA Negeri 42, Drs. H. Luthfi, MM memberikan ucapan selamat dan berpesan kepada seluruh siswa kelas XII IPA dan IPS para wisudawan dan wisudawati, agar terus berjuang belajar dengan giat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dengan tidak mengenal putus asa, penuh semangat, bekerja keras dan mencintai dengan apa yang diperjuangkannya yang tentunya dilambari pula dengan iman dan taqwa. 

Selain kata sambutan, acara juga diisi oleh hiburan pentas seni dari para siswa baik dari kelas x maupun dari para widawan dan wisudawati seperti tarian, teater, vocal, dan paduan suara SMA Negeri 42. Dalam kesempatan itu dibawakan pula lagu Hymne Wisuda SMAN 42 ciptaan Drs. Slamet Priyadi oleh kelompok Padus 42 dan seluruh wisudawan dan wisudawati sebagai lagu ilusterasi saat pelepasan mereka. Tepat pada pukul 12:21 WIB, acara wisuda siswa SMAN 42 berakhir. 

Boleh dikata, penyelenggaraan wisuda siswa SMA Negeri 42  T.P 2012-2013 berjalan mulus, lancar dan sukses. Seluruh panitia bekerja dengan kompak. Begitu pun para bapak dan ibu guru serta karyawan begitu antusias sekali untuk mensukseskan acara “Wisuda SMAN 42 tahun pelajaran 2012-2013. Sukses buat panitia penyelenggara. Jayalah, jayalah, jayalah SMA Negeri 42 Jakarta!!!

Penulis:
Drs. Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan Bogor